:: Jelita... ::
"Langit sore terlihat murung,. Dengan kicau burung
yang enggan akan mendung, lekuk awan mulai mematung… tak jelas dan malas.. ikuti arah angin yang
terbiasa jadi khalifah dicakrawala…”
Sebut saja saya hanya
seorang pecinta senja, .. “Nothing
Special About Me” itu sudah menjadi
motto hidup dalam hitungan tahun pada
setiap jejak yang saya pijak diBumi Nusantara ini. Kebanggaan yang saya punya
adalah memiliki sebuah keluarga yang penuh canda tawa walau hidup sederhana dan
apa adanya.
Life is Choice… sebagian
besar manusia dialam ini pasti sudah akrab dengan kalimat itu, bahkan tak
sedikit yang menjadikan alasan dalam setiap cerita hidup mereka.
Th. 2010
Jelita (nama samaran)
itu seolah hilang dari peredaran ditengah keluarga yang kini masih merindukan
senyum dan tawanya, Jelita.. yang terbiasa bersenandung dalam setiap
tingkahnya, Jelita yang kerap hadirkan cerita dalam sikap manjanya… Jelita yang
seolah lupa bahwa memiliki keluarga yang berjuang untuk kebahagiannya. Yaa
Rabb.. sampai jemariku menari pada tuts-tuts ajaib ini, wajah manisnya
hadir dipelupuk mata. Senyumnya yang
polos dan kerut amarahnya masih apik hiasi bayang yang terselip dalam khayal.
Jelita adik bungsu
yang paling kami manja, pergi dengan
pilihan hidupnya, dengan segudang kisahnya dengan selaut pengorbanannya,..
hhhhh… harap dan do’a masih teruntai dari setiap sujud Sang Dewi (ibu) ditengah
kerinduannya. Andai saja keluarga kami keluarga berada mungkin dia takkan
hilang raib ditelan dunianya. Sungguh hal yang membuat saya sampai detik ini
tak pernah lupa tentang semua hal yang terjadi padanya.
Tepat 30 Juni 2010
Jelita kami pergi,.. pilihannya untuk hidup dengan seseorang yang sampai detik
ini tidak kami kenal adalah mistery yang belum kami temukan. Jangankan sebuah
titik, koma saja seolah raib dalam pencarian kami. Bahagia itu adalah bisa membeli apa saja !!! itu rangkuman dari
kata-kata singkatnya via telepon, dengan nada angkuh dan tak sedikitpun
terenyuh oleh suara Sang Dewi yang merindunya.. tak sedikitpun terenyuh oleh
penderitaan seorang lelaki tangguh (Ayah) yang menjadi diam nyaris tanpa kata
saat itu.
“Ketika hijau …
menjadikan warna daun utuh, ada gurat kemesraan dari ranting dan akar… bahkan
buahnya turut bersuka cita. Tapi daya pikatnya sirna karena musim yang mengulur
jauh dari Syukur!!!”
Fantastis!!! Mungkin
kata yang tidak muluk, untuk seorang anak yang sudah 17tahun hadir ditengah
keluarga yang sederhana, dengan kenangan-kenangan yang tidak murah harganya,
kebersamaan yang selalu suguhkan canda dan tawa itu seolah lenyap dari memory
ingatannya. Dia menutup mata dari rasa sayang keluarganya, menutup telinga dari
setiap kata nasehat dari mereka yang peduli padanya, menutup mata hatinya dari
semua yang mencintainya..
"betulkah
bahagia itu adalah bisa membeli apa saja???" Hehhh… terlalu naïf jika dia
meninggalkan sebuah keutuhan kebersamaan dengan keluarganya demi untuk membeli
apa saja…
“Yaa Rabb… hikmah
dari-Mu adalah kebersamaan keluarga besarku yang menopang dikala hati Sang Dewi
dan lelaki Tangguh itu runtuh…”
Ramadhan pertama tanpa
hadirnya Jelita, sungguh fenomena yang ciptakan haru luar biasa, bahagia kami
dalam syair-syair takbir seolah surut ketika pada kenyataan yang kami harapkan
tak jua datang. Jelita belum pulang dengan senyumnya yang menawan. Keputusasaan
dan harapan kosong karyakan sebuah lukisan abstrak tapi bernilai mahal. Kelopak
mata Sang Dewi sembab, dan luruhkan
seluruh pertahanan hati yang melihatnya. Ketangguhan lelaki tangguh itu goyah,.. tubuhnya terguncang dan kerap tak
sadar. Yaa Rabb… sampai ketika jari-jari ini melenggang, harapan itu masih
sama… “Kembalikan Jelita…”
Waktu kian larut dan
asyik suguhkan cerita tentang hidup. Jejak Jelita kian mengerut, seluruh
sahabat dan kerabat lelah dalam pendakian pada puncaknya. Saatnya untuk ikhlas
dan menjadikan ini adalah sebuah pengalaman hidup yang sangat berharga,
menjadikan cerita ini adalah contoh untuk semua yang mengetahuinya.
Saya seorang kakak tak
mampu lagi berbuat apa-apa, bukan lelah bukan juga gerah. Tapi semua ada
batasannya, batasan ketika kita perlu untuk maju dan lupakan sesuatu yang
buntu, batasan ketika saatnya kita diam dan larut dalam do’a yang khusyu. Pencarian yang dilakukan sudah maksimal,
kepada mereka para ulama, kepada mereka dari pihak kepolisian sudah
berulang-ulang kami lakukan.
Move
On..
jangan terus terpuruk dalam titik yang belum pernah kita temukan dimana, itulah
kesepakatan yang saya buat dengan saudara-saudara saya saat itu, kami yakin
bisa untuk tidak meratapi kejadian ini. Tapi ternyata salah… kemungkinan itu
bisa untuk saya dan keluarga lainnya melupakan dan menyimpan Jelita dalam
bait-bait do’a dihati saja. Namun berbeda dengan Sang Dewi yang terus mencari,
tak terpikir oleh lelah yang dideritanya, tak terpikir oleh sakit yang
dirasakannya.
Ba’da shalat subuh…
Sang Dewi menghilang, kami panik dan satu hal yang kami yakini Sang Dewi pergi
mencari Jelitanya yang belum kembali, kini hati kami kembali carut marut, dalam
terik yang kian memekik, dalam dahaga yang asyik berlaga.. Yaa Rabbiii…
lihatlah.. didepan kami, Sang Dewi berjalan, terseok-seok tanpa alas dikakinya,
peluhnya basah dan gurat-gurat diwajahnya semakin jelas berteriak memanggil
Jelitanya yang seolah asyik dalam dunianya. Entah apa yang harus diperbuat saat
itu,.. jiwa Sang Dewi mengalami
depresi, dan Lelaki Tangguh itu hanya
tergeletak dihamparan tikar tanpa kata yang keluar. Ya Allah… sulit rasanya
membayangkan tubuh renta kedua orangtuaku seperti luruh tak bertulang, sulit
rasanya membayangkan Sang Dewi tanpa
isi perut yang bisa menopang daya tahan tubuhnya, berjalan tanpa alas kaki
ditengah terik matahari… dalam hitungan jam yang kejam.
Th. 2011
Ramadhan kedua masih
sama, hening tanpa hadirnya celoteh Jelita, gema takbir kembali sentuh hati
kami dengan sayat-sayat rindu untuknya, yang patut disyukuri adalah kembalinya
senyum Sang Dewi, kembalinya kekuatan
Lelaki tangguh itu…
“Rabbiii…
hanya kepada-Mu nikmat itu kembali dengan hadirnya semangat kedua orangtua
kami…”
Harapan dan impian
untuk terus dapat berkumpul utuh sudah tak lagi jadi yang utama, dengan bijak
lelaki tangguh berkata..
“Semua
sudah kehendak Allah, tugas kita jangan putus dari do’a untuknya, semoga dia
pulang dengan keadaan baik-baik saja.. yakin.. bahwa dia akan kembali.. hidayah
itu pasti ada…“
Allhamdulillah…
Ramadhan kedua tanpa hadirnya Jelita menguatkan hati kami bahwa sebenar dia
disana merindukan keluarganya juga, darah itu masih deras mengalir dalam
tubuhnya, dan tak akan berubah, sesukses apapun dirinya diluar sana tetap darah
yang mengalir adalah darah dari orang sederhana dan akan tetap seperti itu.
“Kesabaran dan
keikhlasan adalah awal untuk terciptanya sebuah impian…”
Entah
kapan tepatnya, akhirnya Jelita menampakkan dirinya… tidak secara langsung
memang, namun akun FBnya yang lama kembali aktif, disanalah terlihat dia memang
semakin cantik, terlihat sukses dengan penampilannya yang bukan seperti orang
biasa, kesempatan itu yang membuat saya tak lepas untuk memperhatikannya, coba
mencari tahu keberadaan dari alamat yang dia tulis diakun FBnya, lekuk wajahnya memang terlihat bersih namun saya yakin
garis-garis itu mengisyaratkan penyesalan, kerinduan dan tidak percaya diri....
To be continued...
10 comments
kisah nyata ini nek?
BalasHapusngalir bner.
hu'umm... 'jaga keluargamu nek'.. ;')
Hapusbukan fiksi ya teh?
BalasHapusjadi begini toh gaya khas menulis teh bonitz :)
capslocknya nusuk-nusuk hhe :D
keep writing teh. I'm waiting next chapter..
iya uchank... :D
HapusHa'haaaa... ketusuk juga? :P
InsyAllah ^_^
kesabaran salah satu kuncinya ya
BalasHapusBetul banget teh Lidya,.. ^_^
Hapusteteeeeeeeeeh.. >,<
BalasHapus*speechless*
Masih ada do'a untuknya Piii... ^_^
Hapusya Allah...ini cerita adekmu beneran ya mpok :(
BalasHapussmg sllu diberi kesehatan dan kebahagiaan buat jelita, dan kesabaran orangtua dpt ganjaran lebih dr Allah nantinya.
Amiiinn.. makasih do'anya miii... :')
HapusMakasih buat jejaknya... ^_^