Aku Bukan Kaktus

image from google
Semula menawarkan kebaikan, kebijakan, keserdehanaan, ketulusan, kegilaan dan apapun itu yang bisa kusebut sebuah anugerah mengenal sosokmu. Tidak tampan tapi menawan, kasar namun masih memiliki kelembutan. Sebagian hati merestui kebersamaan saat bersamamu. Nyaman.. begitulah rasanya, sepertinya akan kembali menemukan sosok teman yang menyenangkan.

Kamu yang gila, kamu yang  egois namun menutupinya dengan senyuman manis. Bagaimanapun akan selalu ada rasa saling menghargai ketika kamu dan aku sedang menjemput mimpi.

Langit mengelap terang, mengubah wajah birunya dengan mendung yang kelam. Sore itu kita baik-baik saja, bahkan tawa kita dibawa angin seiring perjalanan. Perut bumi seolah menjadi saksi bahwa kita sahabat sejati. Saling menjaga dan memahami. Sempat kita melepas kepenatan dalam saung yang menyajikan dua piring pecel ayam.

Heii.. kamu, lelaki egois dan gila. Menyudutkan ruh ini dalam barisan kaktus. Tak pelak jalanan yang terpijak akan sangat menyakitkan sekarang. Kegilaanmu yang mengirim bunga mawar merah. Berduri tajam dan menghitam. Lekat aku sekarat, mengerat seperti tikus yang rakus. Jiwamu terganggu dan mengganggu jiwaku. riuh suara-suara itu memusingkan, mengendus ketenanganku menjadi sarang laba-laba. Tak ayal peduliku sudah buyar, aku menjadi apatis karenamu, menjadi acuh denganmu. Kegilaanmu menjadi gilaku sekarang.

Kata benci itu masih terlihat apik dimataku. Penuh amarah dan aku gerah. Gelagatmu yang terlihat peduli hanya fatamorgana, kau buang semua kenangan kebersamaan yang mengunggah setiap hati untuk menjalin kisah sejati. Silaturahim itu kau lebur menjadi buih bubur. Dimana kamu yang pernah buatku kagum? Hhhh.. akar pohonnya sudah kamu kikis habis. Tak ada yang tumbuh sekarang, hanya sehelai harapan dalam bimbang yang berkepanjangan..

Kamu dikuasai cinta yang salah...
Dan aku, merasa bersalah...

Aku bukan kaktus yang ketika gersang mengeluarkan duri...

Dalam diamku pernah kuteriakan namamu, sekedar melepas belenggu. Sekarang, seperti serpihan kaca gelas yang terserak. Tak bisa di tapak, kecuali setelah sapu itu mengusirnya. Berulang istighfar, mengusir bersalah yang kian terpapar. Apa yang kini harus kulakukan? Membuka ruang baru, lalu menjadi sepertimu?? Menutupnya dengan ketidakberdayaan tentang perasaan?? Hatimu putih, tapi kini menjadi abu. Dan aku menggelapkannya, menghitamkannya. Seperti maumu.

Aku bukan kaktus yang ketika hujan menjadi diam....

You Might Also Like

0 comments

Makasih buat jejaknya... ^_^

Diberdayakan oleh Blogger.

Laporkan Penyalahgunaan

Halaman